Yuk...
Ilustrasi (inet)
dakwatuna.com – Halaqah, atau yang biasa disebut pengajian, usrah,
liqa, or something like that, merupakan kebutuhan kader dakwah dalam
memenuhi kebutuhan tarbiyahnya. Karena bagaimanapun, tarbiyah dan dakwah
sudah seperti dua sisi mata uang yang saling berkelindan. Tarbiyah
tanpa dakwah, sama halnya melihat tapi lumpuh. Kuat kepemahamannya, tapi
lemah kebermanfaatannya. Sebaliknya, dakwah tanpa tarbiyah sama seperti
berjalan namun buta. Makanya, kalau ada kader dakwah yang eksis tapi
malas liqa, pasti gerak dakwahnya banyak yang ‘nabrak-nabrak’.
Untuk
mencapai kesuksesan dalam tarbiyah, seorang kader dakwah mesti memahami
mengapa dirinya penting mengikuti agenda pekanannya tersebut. Karena
kesalahan dalam memahami liqa akan berdampak pada hasil tarbiyah yang ia
raih.
Beberapa Keistimewaan Halaqah
Sebelumnya, seorang kader
dakwah perlu memahami bahwa liqa bukanlah satu-satunya sarana tarbiyah.
Ia hanya salah satu dari sekian banyak penopang tarbiyah, seperti mabit,
mukhayyam, daurah, tatsqif, dan lainnya. Akan tetapi liqa tidak dapat
disamakan dengan penunjang tarbiyah yang lain. Dalam pelaksanaannya saja
sudah sepekan sekali, lebih rutin. Sementara penunjang lainnya
merupakan agenda-agenda tambahan yang dilaksanakan kondisional, sesuai
kebutuhan. Artinya, sudah tentu yang rutin ini mendapat prioritas dan
perhatian lebih ketimbang sarana tarbiyah lainnya.
Analoginya
seperti bakso. Jika di mangkuk ada bakso tapi tidak ada bihun-toge-sawi,
tetap saja makanan di mangkuk itu disebut bakso. Tapi lain jadinya jika
di mangkuk ada bihun-toge-sawi, tapi justru tidak ada baksonya, maka
makanan di mangkuk itu tidak akan pernah disebut sebagai bakso. Karena
keberadaan bihun-toge-sawi hanyalah sebagai pelengkap yang menunjang
inti dari semangkuk bakso. Kalau baksonya tidak ada, rasanya keberadaan
bihun-toge-sawi akan menjadi sia-sia adanya. Seperti itulah kaitan liqa
yang sebagai agenda inti dengan penunjang tarbiyah lainnya.
Mungkin
sebagian orang ada yang bertanya, “Mengapa harus liqa? Mengapa bukan
dengan sarana yang lain saja?” Untuk mendapatkan jawaban tersebut,
sekarang mari menelaah apa saja kelebihan liqa yang tidak dimiliki oleh
sarana lainnya. Sudah pasti penelaahan ini dilihat dari keefektifan daya
ubah yang dihasilkan dan dirasakan oleh para mad’u itu sendiri.
Pertama, liqa itu memiliki jadwal yang rutin. Pelaksanaan liqa idealnya
sepekan sekali. Itu merupakan jadwal yang proporsional. Karena ketika
terlalu jarang, tentu tidak baik. Jadwal yang jarang dan sering bolong
tidak akan memberikan dampak perubahan yang signifikan lantaran tidak
memunculkan chemistry-chemistry di antara Murabbi-Mutarabbi ataupun
Mutarabbi-Mutarabbi.
Pesan dakwah yang disampaikan seorang ustadz
akan sulit diterima jika tidak ada usaha untuk membangun kedekatan
dengan para mad’u-nya. Untuk itu, intensitas pertemuan sepekan sekali
tersebut diharapkan dapat memangkas jarak-jarak yang sebelumnya ada.
Seperti kata pepatah jawa, Witing tresno jalaran soko kulino, cinta ada
karena terbiasa.
Kemudian sebaliknya, kalau jadwalnya terlalu
sering, misalnya dalam sepekan ada pertemuan lebih dari sekali, ini juga
kurang baik. Karena dikhawatirkan munculnya kejenuhan pada diri
Mutarabbi ataupun Murabbi. Bagaimanapun, mereka tetaplah manusia biasa
yang tak luput dari rasa bosan. Waspadalah, karena kejenuhan itu bisa
mengurangi kualitas keikhlasan pada diri seseorang! Justru adanya
pertemuan sepekan sekali itu dapat melatih para anggota liqa untuk
bersabar. Selain itu, waktu sepekan sekali mampu menghadirkan rasa
penasaran dan rindu untuk selalu bertemu.
Kedua, liqa itu merupakan
wujud “jama’ah kecil” yang bisa menjaga seseorang dari kekufuran.
Seringkali ada pertanyaan, “Bagaimana caranya agar kita istiqamah?”
Sebenarnya jawabannya sederhana. Selain faktor internal, yaitu menjaga
kualitas keimanan pribadi, ada pula faktor eksternal yang berasal dari
lingkungan. Karena bagaimanapun kondisi lingkungan sedikit banyak akan
memengaruhi kondisi seseorang di dalamnya. Dan ini pun terjadi bagi
aktivis dakwah yang mengisi hari-harinya dengan dakwah. Saat itu tentu
dirinya sering bersinggungan dan berinteraksi dengan orang-orang di
sekitarnya. Maka ada saja dampaknya, baik kecil ataupun besar. Bisa jadi
mula-mulanya muncul rasa malas. Lalu mulai kendur semangat dakwahnya.
Kemudian kalau sudah parah, bisa-bisa kemungkinan terburuk pun terjadi.
Mungkin kekhawatiran ini berlebihan, tapi biarlah. Daripada bersikap
permisif yang akhirnya berakhir fatal. Bukankah lebih baik mencegah
daripada mengobati? Bukankah penyakit-penyakit mematikan juga biasanya
diawali dengan gejala-gejala yang sering dianggap sepele?
Maka dari
itu, keberadaan jama’ah sangatlah penting bagi seorang aktivis dakwah.
Karena ketika dirinya berada pada sebuah jama’ah, maka dirinya akan
diingatkan di saat ia lupa. Ia pun dikuatkan ketika ia lemah. Kala itu,
keberadaan jama’ah ibarat oase di padang pasir. Ia pun laiknya pom
bensin pemulih bahan bakar keimanan yang membuat langkah-langkah para
aktivis dakwah semakin lesat lajunya.
Ada pula pertanyaan,
“Sebetulnya faktor besar perubahan ada pada pembinaan diri sendiri. Ini
kita kenal dengan istilah tarbiyah dzatiyah. Lalu buat apa liqa kalau
sudah melakukan tarbiyah dzatiyah?” Ini sangat menarik. Mengingatkan
konsep dasar bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa berdiri
sendiri. Begitu pula dalam tarbiyah. Jika liqa, sebagai wujud tarbiyah
jam’iyah, tidak diiringi dengan tarbiyah dzatiyah, maka yang terjadi
adalah seperti mobil mogok yang didorong orang banyak. Sulit bergerak
karena dari mobilnya sendiri tidak ada bahan bakar (baca: motivasi
kesadaran) untuk bergerak. Pun demikian, mobil itu akan tetap bergerak,
meski progresnya sedikit dan menghabiskan banyak tenaga tentunya.
Lalu apa yang terjadi saat menjalankan tarbiyah dzatiyah tanpa dibarengi
tarbiyah jam’iyah? Seperti panah yang melesat tanpa arah lantaran
memang tidak ada yang mengarahkan. Hasilnya adalah meleset dari tujuan
yang seharusnya. Bagaimanapun tidak ada orang yang mampu menilai dan
mengevaluasi dirinya sendiri. Seorang murid di sekolah pun memerlukan
seorang guru untuk menilai kemampuannya. Seorang presiden pun memerlukan
rakyat sebagai penilai kesuksesan pemerintahannya. Inilah bukti bahwa
setiap itu memerlukan orang lain.
Kalaupun ada orang yang bisa
menilai dirinya sendiri, rasanya terlalu naif dan sangat subjektif.
Apakah dirinya dapat menjamin kemurnian dari penilaian itu? Ataukah
penilaian itu lebih sekadar corak kesombongan dan keegoisan belaka?
Perlu diketahui, bahwa output tarbiyah tidaklah melahirkan kesombongan
maupun keegoisan. Manakala dua sifat itu muncul pada diri seseorang,
maka bisa dikatakan ada yang tidak beres dengan proses tarbiyahnya. Maka
dari itu, dalam pelaksanaan tarbiyah, seorang kader dakwah perlu ada
seseorang (Murabbi) sebagai pendamping yang nantinya akan mengevaluasi
dan melakukan proses pengarahan sesuai dengan marhalah (tingkatan)
tarbiyah dirinya.
Ketiga, liqa merupakan proses dakwah-tarbiyah yang
menerapkan sistem komunikasi antar pibadi. Inilah yang menjadi
indikator mengapa liqa lebih menghasilkan perubahan positif yang
signifikan, terukur, dan terarah daripada taklim-taklim pada umumnya.
Jika pada taklim seorang ustadz harus berhadapan dengan puluhan, atau
bahkan ratusan orang, maka yang terjadi saat itu adalah komunikasi yang
bersifat satu arah. Para mad’u tidak leluasa bertanya dan ustadz pun
tidak mungkin menjawab seluruh pertanyaan atau memenuhi seluruh
kebutuhan para mad’u-nya, apalagi memantau perubahan mereka atas hasil
ceramah dirinya.
Sementara itu, liqa terdiri dari beberapa orang
(umumnya maksimal 10) saja yang membentuk sebuah kelompok kecil. Dalam
kelompok tersebut, seorang ustadz lebih memiliki kesempatan untuk
melakukan komunikasi dua arah kepada para mad’u. Hal ini terlihat dari
adanya feedback dari mereka, seperti berupa pertanyaan, sanggahan,
ataupun cerita-cerita lainnya. Jelas ini berdampak positif. Sang ustadz
akan mudah membangun kedekatan dengan mereka. Lalu sang ustadz pun akan
lebih mudah memahami karakter mad’u-nya satu persatu, hingga kemudian
dirinya mampu menentukan cara yang tepat untuk mendakwahi mereka. Selain
itu, kecilnya jumlah mad’u memudahkan ustadz untuk memantau
keberhasilan mereka dalam memahami dan menjalankan pesan-pesan yang
telah disampaikannya.
Keempat, liqa memiliki sistem kurikulum madah
(materi) yang runut dan sistematis. Berbeda halnya dengan sarana lainnya
yang lebih bersifat general. Liqa sudah seperti sekolah yang
menyediakan asupan-asupan “gizi” sesuai dengan tingkatan kepemahaman
para mad’u. Tidak mungkin jika anak SD dikasih soal anak SMP. Karena
pasti anak itu bingung. Begitu pula anak SMP, tidak mungkin diberi soal
anak SD. Karena itu tidak memberi perkembangan apa-apa kepadanya.
Adanya kurikulum materi yang runut dan sistematis memberikan pengertian
bahwa dakwah-tarbiyah ini memiliki tujuan dan arah yang jelas.
Bayangkan, apa jadinya jika dakwah ini dilakukan asal-asalan dan tidak
terstruktur dengan baik? Sudah tentu produk yang dihasilkan juga tidak
baik. Materi dalam liqa dibuat sedemikian rupa agar dapat dipahami
dengan baik oleh para mad’u, sehingga mereka memahami Islam ini sebagai
kesatuan sistem utuh dan menyeluruh.
Laiknya membangun rumah yang
kokoh, tentu diawali dengan membuat pondasi, dinding, dan atapnya. Oleh
sebab itu, dalam dakwah-tarbiyah pertama kali yang perlu dibangun adalah
kekokohan aqidah. Karena aqidah adalah pondasi bagi setiap muslim. Baru
setelahnya membangun sisi-sisi yang lain. Contoh, tidaklah mungkin
seorang mad’u diberi materi keutamaan sedekah jika sebelumnya tidak
dijelaskan tentang materi sabar dan syukur. Tidak pula mereka dikasih
materi yang besar jika tidak diawali dengan materi yang kecil dan pokok.
Lihat saja kasus-kasus terorisme yang pernah ada. Mereka mengamalkan
jihad, tetapi tidak didasari oleh pemikiran yang sebagaimana mestinya.
Alhasil, banyak hal yang disayangkan selepas peristiwa teror itu
terjadi. Niat dan semangat mereka bagus, hanya saja pelaksanaannya yang
kurang tepat.
Ruhiyah, Inti Sel Halaqah
Sekali lagi ada
pertanyaan menarik, “Apa sebenarnya yang membuat liqa ini berkesan,
sehingga banyak kader dakwah yang menekuninya hingga sekarang?”
Spirit liqa bukanlah terletak pada apa yang terdapat pada baramij-nya
(susunan acara), seperti tilawah, tadabur ayat al-Qur’an, kultum,
muraja’ah hapalan, materi, diskusi, qadhayah, dan do’a. Semua itu memang
dibutuhkan kader dakwah guna menunjang perkembangan dirinya. Namun
sekali lagi, keberadaan baramij itu sendiri sebetulnya adalah
kondisional, bukan suatu hal yang saklek atau tidak dapat diubah. Semua
itu disusun sesuai kebutuhan.
Terlebih, poin-poin pada baramij liqa
itu sebetulnya masih bisa didapatkan di luar liqa setiap harinya! Do’a,
tilawah, tadabur, dan muraja’ah al-Qur’an, adalah kegiatan yang tidak
sepatutnya ditinggalkan kader dakwah setiap harinya. Diskusi, materi,
maupun kultum masih bisa didapatkan dengan cara banyak membaca buku atau
menghadiri forum-forum diskusi. Qodoyah pun bisa ditanggulangi dengan
cara lain, seperti menulis unek-unek atau curhat pada teman.
Itu
sebabnya semangat liqa bukanlah terletak pada baramij, melainkan pada
kesadaran untuk TRANSFER RUHIYAH yang ada pada diri setiap anggota liqa.
Di sinilah terjadi pertukaran dan penyulutan semangat antara satu
anggota dengan anggota lain dalam liqa.
Di kala ada seorang anggota
yang turun semangatnya, ketika datang liqa, dirinya bertemu dengan
Murabbi dan para sahabat yang menerimanya dengan tulus dan penuh energi.
Entah energi apa itu. Yang jelas energi itu dapat kembali mengisi
pundi-pundi hati yang semula kosong atau tidak penuh menjadi full
terisi. Ada ‘sesuatu’ yang bisa didapatkan. Rasanya nikmat dan
menghantarkan semangat untuk menjalani hari-hari sepekan ke depan.
Terkadang energi itu dapat dirasakan lewat senyuman, sentuhan, jabatan
tangan, pelukan, atau bahkan teduhnya wajah dan tatapan mereka. Energi
misterius itulah yang membuat setiap pertemuan liqa selalu memberikan
kesan tersendiri, meskipun baramij di setiap pekannya sama saja. Karena
sebanyak apa pun baramij tersebut, ketika tidak berusaha menghadirkan
energi ruhiyah, maka liqa yang berjalan pun akan terasa hambar, tidak
membekas, dan melelahkan.
Mari dedah lebih dalam. Dakwah-tarbiyah
ini merupakan permainan hati. Kalau begitu, sudah pasti keberhasilannya
ditentukan oleh yang Maha Menguasai Hati, bukan? Untuk dapat memenangkan
permainan hati ini, sudah tentu para pelakunya perlu menyertakan hati
seutuhnya untuk yang Maha Menguasai Hati. Karena hanya yang Maha
Menguasai Hatilah yang mampu memenangkan hati setiap orang.
Untuk
itu, agar liqa menjadi berkah, perlu kiranya setiap anggota di dalamnya
(khususnya Murabbi) menjaga kondisi ruhiyahnya. Seorang Murabbi ibarat
nahkoda kapal yang semestinya meyakinkan dan menguatkan para awaknya
kala menghadapi badai-badai kehidupan. Jika nahkodanya sudah panik atau
goyah, lantas bagaimana kapal itu akan tetap selamat berlayar? Pun
begitu, para Mutarabbi pun perlu menjaga kondisi ruhiyah mereka. Karena
untuk menjalankan kapal tersebut, kelihaian seorang nahkoda tak cukup
berarti jika para awaknya pesakitan dan lemah semangatnya.
Allahu a’lam…
Sumber: Dakwatuna.com..
http://www.dakwatuna.com/2012/04/19779/mengupas-rahasia-halaqah/#ixzz2EECJsGxq