Rabu, 09 April 2014

apadeh

huwaaa, eik berteman dg dia di bbm, jadi udh gak bisa buat status macam-macam... hha

Jumat, 04 April 2014

GANGGUAN MUSKULOSKELETAL

BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Cumulative Trauma Disorders (CTDs) adalah sekumpulan gangguan atau kekacauan pada sistem muskuloskeletal berupa cedera syaraf , otot, tendon, ligamen, tulang dan persendian pada titik-titik ekstrim tubuh bagian atas (tangan, pergelangan, siku dan bahu), tubuh bagian bawah (kaki, lutut dan  pinggul) dan tulang belakang (punggung dan leher).
Biasanya CTDs mempengaruhi bagian-bagian tubuh yang terlibat dalam pelaksanaan suatu pekerjaan. Tubuh bagian atas terutama punggung dan lengan adalah bagian yang paling rentan terhadap resiko CTDs. Jenis pekerjaan seperti perakitan, pengolahan data menggunakan keyboard komputer, pengepakan makanan dan penyolderan adalah pekerjaan-pekerjaan yang mempunyai siklus pengulangan pendek dan cepat sehingga menyebabkan timbulnya CTDs.
Pekerjaan-pekerjaan dan sikap kerja yang statis sangat berpotensi mempercepat timbulnya kelelahan dan nyeri pada otot-otot yang terlibat. Jika kondisi seperti ini berlangsung setiap hari dan dalam waktu yang lama bisa menimbulkan sakit permanen dan kerusakan pada otot, sendi,  tendon, ligamen dan jaringan-jaringan lain.
Oleh karena itu perlu diketahui bahwa gangguan sistem muskuloskeletal pada saat bekerja sangat berbahaya bagi para pekerja, apalagi bila kegiatan tersebut berulang secara terus menerus. Maka perlu dilakukan metode atau identifikasi dalam penanganan gangguan tersebut, agar dapat meminimalkan angka cedera, gangguan, atau sakit terhadap pekerjaannya.


1.2 Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud  gangguan muskuloskeletal ?
2.      Faktor apa saja yang dapat menyebabkan gangguan muskuloskeletal ?
3.      Bagaimanakah langkah untuk mengatasi keluhan pada gangguan muskuloskeletal ?
4.      Apa saja metode penilaian dalam keluhan sistem muskuloskeletal ?

1.3 Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian gangguan muskuloskeletal.
2.      Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab gangguan muskuloskeletal .
3.      Untuk mengetahui bagaimana langkah mengatasi gangguan muskuloskeletal .
4.      Untuk mengetahui metode penilaian dalam keluhan sistem muskuloskeletal.

















BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Gangguan Muskuloskeletal
            Keluhan pada sistem muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot rangka yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan pada bagian-bagian dari otot rangka yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit. Apabila otot menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang lama, akan dapat menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi , ligamen atau tendon. Keluhan hingga kerusakan inilah yang biasanya diistilahkan dengan keluhan muskuloskeletal  disorders (MSDs) atau cedera pada sistem muskuloskeletal  (Grandjean, 1993; Lemasters, 1996). Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu :
1.      Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot meneritoma beban statis, namun demikian keluhan tersebuta akan segera hilang apabila pemberian beban dihentikan
2.      Keluhan tetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap. Walaupun pemberian beban kerja telah dihentikan , namun rasa sakit pada otot tersebut terus berlanjut.

2.2 Faktor Penyebab Keluhan Pada Gangguan Muskuloskeletal
            Faktor Penyebab Keluhan Pada Sistem Muskuloskeletal Peter Vi (2000) menjelaskan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan sistem muskuloskeletal yakni, antara lain:
1.      Peregangan Otot yang Berlebihan
Peregangan otot yang berlebihan pada umumnya sering dikeluhkan oleh pekerja yang aktivitas kerjanya menuntut pengerahan tenaga yang besar seperti aktivitas mengangkat, mendorong, menarik dan menahan beban yang berat. Hal ini terjadi karena pengerahan tenaga yang diperlukan melampaui kekuatan optimum otot dan bila sering dilakukan maka dapat mempertinggi resiko terjadinya keluhan otot, bahkan dapat menyebabkan terjadinya cedera otot skeletal.
2.      Aktivitas Berulang
Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus-menerus seperti pekerjaan mancangkul, membelah kayu besar, angkat-angkat dan sebagainya. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja secara terus-menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi.
3.      Sikap Kerja Tidak Alamiah
Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Umumnya karena karakteristik tuntutan tugas, alat kerja dan stasiun kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja (Grandjean, 1993; Anis & McConville, 1996; Waters & Anderson, 1996 & Manuaba, 2000).
            Di Indonesia, sikap kerja tidak alamiah ini lebih banyak disebabkan oleh adanya ketidaksesuaian antara dimensi alat dan stasiun kerja dengan ukuran tubuh pekerja. Sebagai negara berkembang, Indonesia masih tergantung pada perkembangan teknologi negara-negara maju khususnya dalam pengadaan peralatan industri. Sebagai contoh, pengoperasian mesin-mesin produksi di suatu pabrik yang diimpor dari Amerika dan Eropa akan menjadi masalah bagi sebagian besar pekerja di Indonesia. Hal tersebut disebabkan karena Negara pengekspor di dalam mendesain mesin-mesin hanya didasarkan pada antropometri dari pekerja mereka, yang pada kenyataannya ukuran tubuh mereka lebih besar dibandingkan dengan pekerja di Indonesia. Dapat dipastikan kondisi tersebut akan menyebabkan sikap paksa pada waktu pekerja mengoperasikan mesin. Apabila terjadi dalam kurun waktu yang lama, maka akan terjadi akumulasi keluhan yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya cidera otot.
4.      Faktor Penyebab Sekunder
-          Tekanan: Terjadinya tekanan langsung pada jaringan otot yang lunak. Sebagai contoh, pada saat tangan harus memegang alat, maka jaringan otot tangan yang lunak akan menerima tekanan langsung dari pegangan alat dan apabila hal ini sering terjadi dapat menyebabkan rasa nyeri otot yang  menetap.
-          Getaran: Getaran dengan frekuensi tinggi akan menyebabkan kontraksi otot bertambah. Kontraksi statis ini menyebabkan peredaran darah tidak lancar, penimbunan asam laktat meningkat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot (Suma’mur, 1995).
-          Mikroklimat: Paparan suhu dingin yang berlebihan dapat menurunkan kelincahan, kepekaan dan kekuatan pekerja sehingga gerakan pekerja menjadi lamban, sulit bergerak yang disertai dengan menurunnya kekuatan otot. Demikian juga dengan paparan udara yang panas. Beda suhu lingkungan dengan suhu tubuh yang terlampau besar menyebabkan sebagian energi yang ada dalam tubuh akan termanfaatkan oleh tubuh untuk beradaptasi dengan lingkungan tersebut. Apabila hal ini tidak diimbangi dengan pasokan energi yang cukup, maka akan terjadi kekurangan suplai oksigen kerja otot. Akibatnya, peredaran darah kurang lancar, suplai oksigen kerja otot menurun, proses metabolisme karbohidrat terhambat dan terjadi penimbunan asam laktat yang dapat menimbulkan rasa nyeri otot (Suma’mur, 1982; Grandjean, 1993).
5.      Penyebab Kombinasi. Resiko terjadinya keluhan otot skeletal akan semakin meningkat apabila melakukan tugasnya, pekerja dihadapkan pada beberapa faktor resiko dalam waktu yang bersamaan misalnya pekerja harus melakukan aktivitas angkat angkut dibawah tekanan panas sinar matahari seperti yang dilakukan para pekerja bangunan.
                        Di samping kelima faktor  terjadinya keluhan sistem muskuloskeletal tersebut diatas, beberapa ahli menjelaskan bahwa faktor individu seperti umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok, aktivitas fisik, kekuatan fisik dan ukuran tubuh juga dapat menjadi penyebab terjadinya keluhan otot skeletal.
§  Umur. Chaffin (1979) dan Guo et al. (1995) menyatakan bahwa pada umumnya keluhan muskuloskeletal mulai dirasakan pada usia kerja, yaitu 25-65 tahun. Keluhan pertama biasanya dirasakan pada umur 35 tahun dan tingkat keluhan akan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya umur. Hal ini terjadi karena pada umur setengah baya, kekuatan san ketahanan otot mulai menurun sehingga resiko terjadinya keluhan otot meningkat. Sebagai contoh, Betti’e, et.al. (1986) telah melakukan studi tentang kekuatan statik otot untuk pria dan wanita dengan usia antara 20 sampai dengan diatas 60 tahun. Penelitian difokuskan untuk otot lengan, punggung, dan kaki. Hasil penelitian menujukkan bahwa kekuatan otot maksimal terjadi pada saat umur antara 20-29 tahun, selanjutnya terus terjadi penurunan sejalan dengan bertambahnya umur. Pada saat umur mencapai 60 tahun, rerata kekuatan otot menurun sampai 20%. Pada saat kekuatan otot mulai menurun inilah maka resiko terjadinya keluhan otot akan meningkat. Riihimaki, et.al. (1989) menjelaskan bahwa umur mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan keluhan sistem muskuloskeletal, terutama untuk otot leher dan bahu, bahkan ada beberapa ahli lainnya menyatakan bahwa umur merupakan penyebab utama terjadinya keluhan otot.

§  Jenis Kelamin. Walaupun masih ada perbedaan pendapat dari beberapa ahli tentang pengaruh jenis kelamin terhadap resiko keluhan sistem muskuloskeletal, namun beberapa hasil penelitian secara signifikan menunjukkan bahwa jenis kelamin sangat mempengaruhi tingkat resiko keluhan otot. Hal ini terjadi karena secara fisiologis, kemampuan otot wanita memang lebih rendah dari pada pria. Astrand & Rodahl (1996) menjelaskan bahwa kekuatan ototwanita hanya sekitar dua per tiga dari kekuatan otot pria, sehingga daya otot pria pun lebih tinggi dibandingkan dengan wanita. Hasil penelitian Betti’e et al. (1989) menujukkan bahwa rerata kekuatan otot wanita kurang lebih hanya 60% kekuatan otot pria, khusunya untuk otot lengan, punggung, dan kaki. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Chiang, et.al. (1993), Bernard, et.al. (1994), hales, et.al. (1994) dan Johanson (1994) yang menyatakan bahwa perbandingan keluhan otot antara pria dan wanita adalah 1:3. Dari uraian tersebut diatas, maka jenis kelamin perlu dipertimbangkan dalam mendesain beban tugas.

§  Kebiasaan Merokok. Sama halnya dengan faktor jenis kelamin pengaruh kebiasaan meroko terhadap resiko keluhan otot juga masih diperdebatkan dengan para ahli, namun demikian, beberapa penelitian telah membuktikan bahwa meningkatnya keluhan otot sangat erat hubungannya dengan lama dan tingkat kebiasaan merokok. Semakin lama dan semakin tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi pula tingkat keluhan otot yang dirasakan. Boshuizen, et.al. (1993) menemukan hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan keluhan otot pinggang, khususnya untuk pekerjaan yang memerlukan pengerahan otot. Hal ini sebenarnya terkait erat dengan kesegaran tubuh seseorang. Kebiasaan merokok akan dapat menurunkan kapasitas paru-paru, sehingga kemampuan untuk mengkonsumsi oksigen menurun dan sebagai akibatnya, tingkat kesegaran tubuh juga menurun. Apabila yang bersangkutan harus melakukan tugas yang menuntut pengerahan tenaga, maka akan mudah lelah karena kandunagn oksigen dalam darah rendah, pembakaran karbohidrat terhambat, terjadi tumpukan asam laktat dan akhirnya timbul rasa nyeri otot.

§  Kesegaran Jasmani. Pada umumnya, keluhan otot lebih jarang ditemukan dalam seseorang yang aktivitas kesehariannya mempunyai cukup waktu untuk istirahat. Sebaliknya, bagi yang dalam kesehariannya melakukan pekerjaan yang memerlukan pengerahan tenaga yang besar, disisi lain tidak mempunyai waktu yang cukup untuk istirahat, hampir dapat dipastikan akan terjadi keluhan otot. Tingkat keluhan otot juga sangat dipengaruhi oleh tingkat kesegaran tubuh. Laporan NIOSH yang dikutip dari penelitian Cady, et.al. (1979) menyatakan bahwa untuk tingkat kesegaran tubuh yang rendah, maka resiko terjadinya keluhan adalah 7,1%, tingkat kesegaran tubuh sedang adalah 3,2% dan tingkat kesegaran tubuh tinggi adalah 0,8%. Hal ini juga diperkuat dengan laporan Betti’e, et.al. (1989) yang menyatakan bahwa hasil penelitian terhadap para penerbang  menujukkan bahwa kelompok penerbang dengan tingkat kesegaran tubuh yang tinggi mempunyai resiko yang sangat kecil terhadap resiko terjadinya cedera otot. Dari uraian diatas dapat digaris bawahi bahwa, tingkat kesegaran tubuh yang rendah akan mempertinggi resiko terjadinya keluhan otot. Keluhan otot akan meningkat sejalan dengan bertambahnya aktivitas fisik.

§  Kekuatan fisik. Sama halnya dengan beberapa faktor lainnya, hubungan antara kekuatan fisik dengan resiko keluhan sistem muskuloskeletal juga masih diperdebatkan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yanf signifikan, namun penelitian lainnya menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kekuatan fisik dengan keluhan otot skeletal. Chaffin and Park (1973) yang dilaporkan oleh NIOSH menemukan adanya peningkatan keluhan punggung yang tajam pada para pekerja yang melakukan tugas yang menuntut kekuatan melebihi batas kekuatan otot pekerja. Bagi pekerja yang kekuatan ototnya rendah, resiko terjadinya keluhan tiga kali lipat dari yang mempunyai kekuatan tinggi. Sementara itu, Betti’e, et.al. (1990) menemukan bahwa pekerja yang sudah mempunyai keluhan pinggang mampu melakukan pekerjaan seperti pekerja lainnya yang belum memiliki keluhan pinggang. Terlepas dari perbedaan kedua hasil penelitian tersebut diatas, secara fisiologis ada yang dilahirkan dengan struktur otot yang mempunyai kekuatan fisik lebih kuat dibandingkan dengan yang lainnya. Dalam kondisi kekuatan yang berbeda ini, apabila harus melakukan pekerjaan yang memerlukan pengerahan otot, jelas yang mempunyai kekuatan rendah akan lebih rentan terhadap resiko cedera otot. Namun untuk pekerjaan- pekerjaan yang tidak memerlukan pengerahan tenaga, maka faktor kekuatan fisik kurang relevan terhadap resiko keluhan sistem muskuloskeletal.

§  Ukuran Tubuh (antropometri). Walaupun pengaruhnya relatif kecil, berat badan, tinggi badan dan masa tubuh merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan sistem muskuloskeletal. Vessy, et.al. (1990) menyatakan bahwa wanita yang gemuk mempunyai resiko dua kali lipat dibandingkan dengan wanita kurus. Hal ini diperkuat oleh Werner, et.al (1994) yang menyatakan bahwa bagi pasien yang gemuk (obesitas dengan masa tubuh >29) mempunyai resiko 2,5 lebih tinggi dibandingkan dengan yang kurus (masa tubuh <20), khususnya untuk otot kaki. Temuan lain menyatakan bahwa pada tubuh yang tinggi umumnya sering menderita keluhan sakit punggung, tetapi tubuh tinggi tidak mempunyai pengaruh terhadap keluhan pada leher, bahu dan pergelangan tangan. Apabila dicermati, keluhan sistem muskuloskeletal yang terkait dengan ukuran tubuh lebih disebabkan oleh kondisi keseimbangan struktur rangka didalam menerima beban, baik beban berat tubuh maupun beban tambahan lainnya. Sebagai contoh, tubuh yang tinggi pada umumnya mempunyai bentuk tulang yang langsing sehingga secara biomekanik rentan terhadap beban tekan dan rentan terhadap tekukan, oleh karena itu mempunyai resiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya keluhan sistem muskuloskeletal.

2.3  Langkah Mengatasi Keluhan Sistem Muskuloskeletal
      Berdasarkan rekomendasi dari Occupational Safety and Health Administration (OSHA), tindakan ergonomick untuk mencegah adanya sumber penyakit adalah melalui dua cara, yaitu rekayasa teknik, seperti; desain stasiun dan alat kerja dan rekayasa manajemen, seperti; criteria dan organisasi kerja (Grandjean, 1993; Anis&McConville, 1996; Waters & Anderson, 1996; Manuaba, 2000; Peter Vi, 2000). Langkah preventif ini dimaksudkan untuk mengeleminir overexertion dan mencegah adanya sikap kerja tidak alamiah.
1.      Rekayasa Teknik
Rekayasa teknik pada umumnya dilakukan melalui pemilihan beberapa alternative sebagai berikut:
-          Eliminasi, yaitu dengan menghilangkan sumber bahaya yang ada. Hal ini jarang bisa dilakukan mengingat kondisi dan tuntutan pekerjaan yang mengharuskan untuk menggunakan peralatan yang ada.
-          Subsitusi, yaitu mengganti alat atau bahan lama dengan alat atau bahan yang aman, menyempurnakan prosedur penggunaan peralatan.
-          Partisi, yaitu melalukan pemisahan antara sumber bahaya dengan pekerja, sebagai contoh; memisahkan ruang mesin yang bergetar dengan ruang kerja lainnya, pemasangan alat peredam getaran.
-          Ventilasi, yaitu denga nmenambah ventilasi untuk mengurangi resiko sakit, misalnya akibat suhu udara yang terlalu panas.

2.      Rekayasa Manajemen
Rekayasa manajemen dapat dilakukan melalui tindakan-tindakn sebagai berikut :
-          Pendidikan dan pelatihan
Melalui pendidikan dan pelatihan, pekerja menjad ilebih memahami lingkungan dan alat kerja sehingga diharapkan dapa tmelakukan penyesuaian dan inovatif dalam melakukan upaya-upaya pencegahan terhadap resiko sakit akibat kerja.
-          Pengaturan waktu kerja dan istirahat  yang  seimbang
Pengaturan waktu kerja dan istirahat yang seimbang, dalam arti disesuaikan dengan kondisi lingkungan kerja dan karakteristik pekerjaan, sehingga dapat mencegah paparan yang berlebihan terhadap sumber bahaya.
-          Pengawasan yang Intensif
Melaluipengawasan yang intensif dapat dilakukan pencegahan secara lebih dini terhadap kemungkinan terjadinya resiko sakit akibat kerja.
            Sebagai gambaran, berikut ini diberikan contoh tindakan untuk                    mencegah atau mengatasi terjadinya keluhan otot skeletal pada             berbagian kondisi atau aktivitas seperti yang dijabarkan berikut:
1.      Aktivitas angkat-angkut material secara manual
-          Usahakan meminimalkan aktivitas angkat-angkut secara manual
-          Upayakan agar lantai kerja tidak licin
-          Upayakan menggunakan alat bantu kerja yang memadai seperti crane, kereta dorong, dan pengungkit
-          Gunakan alas apabila harus mengangkat di atas kepala atau bahu
-          Upayakan agar beban angkat tidakmelebihi kapasitas angkat pekerja
2.      Berat bahan dan alat
-          Upayakan untuk menggunakan bahan dan alat yang ringan
-          Upayakan menggunakan alat angkut dengan kapasitas< 50 kg
3.      Alat tangan
-          Upayakan agar ukuran pegangan tangan sesuai dengan lingkar genggam pekerja dan karakteristik pekerjaan
-          Pasang lapisan peredam getaran pada pegangan tangan
-          Upayakan pemeliharaan yang rutin sehingga alat selalu dalam kondisi layak pakai
-          Berikan pelatihan sehingga pekerja terampil dalam mengoperasikan alat
4.      Melakukan pekerjaan pada ketinggian
-          Gunakan alat bantu kerja yang memadai seperti; tangga kerjadan lift
-          Upayakan untuk mencegah terjadinya sikap kerja tidak alamiah dengan menyediakan alat-alat yang dapat disetel atau disesuaikan dengan ukuran tubuh pekerja

2.4    Metode Penilaian Keluhan Sistem Muskuloskeletal
Ada beberapa cara yang telah diperkenalkan dalam melakukan evaluasi ergonomi untuk mengetahui hubungan antara tekanan fisik dengan resiko keluhan otot skeletal. Pengukuran terhadap tekanan fisik ini cukup sulit karena melibatkan berbagai faktor subjektif seperti; kinerja, motivasi, harapan dan toleransi kelelahan (Waters & Anderson, 1996). Alat ukur ergonomik yang dapat digunakan cukup banyak dan bervariasi. Namun demikian, dari berbagai alat ukur dan berbagai metode yang ada tentunya mempunyai kelebihan dan keterbatasan masing-masing. Untuk itu kita harus dapat secara selektif memilih dan menggunakan metode secara tepat sesuai dengan tujuan observasi yang akan dilakukan. Beberapa metode observasi postur tubuh yang berkaitan dengan resiko gangguan pada sistem muskuloskeletal (seperti metode ‘OWAS’,’RULA’ dan ‘REBA’) dan penilaian subjektif terhadap tingkat keparahan terhadap sistem muskuloskeletal dengan metode ‘Nordic Body Map’ serta ‘checklist’ sederhana yang dapat digunakan untuk melakukan identifikasi potensi bahaya pada pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan resiko MSD’s.
a.      Metode OWAS (Ovako Working Analysis System)
Metode OWAS merupakan suatu metode yang digunakan untuk menilai, postur tubuh pada saat bekerja seperti halnya metode RULA dan REBA. Metode ini pertama kali diperkenalkan oleh seorang penulis dari Osmo Karhu Finlandia, tahun 1997 dengan judul “Correcting Working postures in industry: A practical method for analysis.” Yang diterbitkan didalam jurnal “Applied Ergonomics”. Metode ini awalnya ditujukan untuk mempelajari suatu pekerjaan di industri baja di Finlandia, dimana akhirnya pasa ergonomists, dan penulis dapat menarik suatu kesimpulan yang valid dan memperkenalkan metode ini secara luas dan menamainya dengan metode “OWAS”.
Metode OWAS ini seperti dijelaskan oleh penulisnya adalah merupaka sebuah metode yang sederhana dan dapat digunakan untuk menganalisis suatu pembebanan pada postur tubuh. Penerapan pada metode ini dapat memberikan suatu hasil yang baik, yang dapat meningkatkan kenyamanan kerja, sebagai peningkatan kualitas produksi, setelah dilakukannya perbaikan sikap kerja. Sampai saat ini, metode ini telah diterapkan secara luas diberbagai sektor industri.
Aplikasi metode OWAS didasarkan pada hasil penga,matan dari berbagai posisi yang diambil pada pekerja selama melakukan pekerjaanny, dan digunakan untuk mengidentifikasi sampai dengan 252 posisi yang berbeda, sebagai hasil dari kemungkinan kombinasi postur tubuh bagian belakang (4 posisi), lengan (3 posisi), kaki (7 posisi), dan pembebanan (3 interval).
Dibawah ini akan dijelaskan secara ringkas prosedur aplikasi metode OWAS, sebagai berikut:
1.      Yang pertama adalah menentukan apakah pengamatan pekerjaan harus dibagi menjadi beberapa fase atau tahapan, dalam rangka memfasilitasi pengamatan (fase penilaian Tunggal atau Multi).
2.      Menentukan total waktu pengamatan pekerjaan (20 s/d 40 menit).
3.      Menentukan panjang interval waktu untuk membagi pengamatan (metode yang diusulkan berkisar antara 30 s/d 60 detik).
4.      Mengidentifikasi, selama pengamatan pekerjaan atau fase, posisi yang berbeda yang dilakukan oleh pekerja. Untuk setiap posisi, tentukan posisi pungung, lengan, kaki, dan beban yang diangkat.
5.      Pemeberian kode pada posisi yang diamati untuk setiap posisi dan pembebanan dengan membuat “kode posisi” identifikasi.
6.      Menghitung untuk setiap posisi, kategori resiko yang mana dia berasal, untuk mengidentifikasi posisi kritis atau yang lebih tinggi tingkat resikonya bagi pekerja. Perhitungan presentase posisi yang terdapat didalam setiap kategori resiko mungkin akan berguna untuk penentuan posisi kritis tersebut.
7.      Menghitung representasi repetitif atau frekuensi relatif dari masing-masing posisi punggung, lengan dan kaki yang berhubungan dengan posisi yang lainnya (catatan: Metode OWAS tidak dapat digunakan untuk menghitung resiko yang   berkaitan dengan frekuensi relatif dari beban yang diangkat. Namun demikian, perhitungan ini akan dapat digunakan untuk studi lebih lanjut tentang mengangkat beban).
8.      Penentuan hasil identifikasi pekerjaan pada posisi kritis, tergantung pada frekuensi relatif dari masing-masing posisi, kategori resiko didasarkan pada masing-masing posisi dari berbagai bagian tubuh (punggung, lengan, dan kaki).
9.      Penentuan tindakan perbaikan yang diperlukan untuk redesain pekerjaan didasarkan pada estimasi resiko.
10.  Jika telah dilakukan suatu perubahan untuk perbaikan maka harus dilakukan review terhadap pekerjaan dengan menggunakan metode OWAS kembali untuk menilai efektivitas perbaikan yang telah diimplemantasikan.

b.      Metode RULA (The Rapid Upper Limb Assessment)
Metode ini pertama kali dikembangkan oleh Lynn McAtamney dan Nigel Corlett, E. (1993), seorang ahli ergonomic dari Nottingham’s Institute of Occupational Ergonomics England. Metode ini prinsip dasarnya hampir sama dengan metode REBA (Rapid Entire Body Assessment) maupun metode OWAS (Ovako Postur Analysis System).
Metode RULA merupakan suatu metode dengan menggunakan target postur tubuh untuk mengestimasi terjadinya resiko gangguan otot skeletal, khususnya pada anggota tubuh bagian atas (upper limb disorders), seperti adanya gerakan repetitif, pekerjaan diperlukan pengerahan kekuatan, aktivitas otot statis pada otot skeletal, dll. Penilaiannya sistematis dan cepat terhadap resiko terjadinya gangguan dengan menunjuk bagian anggota tubuh pekerja yang mengalami gangguan tersebut. Analisis dapat dilakukan sebelum dan sesudah intervensi, untuk menunjukkan bahwa intervensi yang diberikan akan dapat menurunkan resiko cedera. Di dalam aplikasi, metode RULA dapat digunakan untuk menentukan prioritas pekerjaan berdasarkan faktor risiko cedera dan mencari tindakan yang paling efektif untuk pekerjaan yang memiliki resiko relatif tinggi. Di samping itu metode RULA merupakan alat untuk melakukan analisis awal yang mampu menentukan seberapa jauh resiko pekerja yang terpengaruh oleh faktor-faktor penyebab cedera, yaitu postur tubuh, kontraksi otot statis, gerakan repetitif dan pengerahan tenaga dan pembebanan.
Keterbatasan metode RULA yakni hanya terfokus pada faktor-faktor resiko terpilih yang dievaluasi dan tidak mempertimbangkan faktor-faktor resiko cedera pada keadaan seperti:
-                 Waktu kerja tanpa istirahat
-                 Variasi individual pekerja, seperti: umur, pengalaman, ukuran tubuh, kekuatan atau sejarah kesehatannya.
-                 Faktor-faktor lingkungan kerja
-                 Faktor-faktor psiko-sosial.
Keterbatasan lainnya adalah bahwa penilaian postur pekerja juga tidak meliputi analisis posisi ibu jari atau jari-jari tangan lainnya, meski pengerahan kekuatan yang dikeluarkan jari-jari tersebut ikut dihitung. Tidak dilakukan pengukuran waktu, meskipun faktor waktu menjadi penting karena berhubungan dengan kelelahan otot dan kerusakan jaringan akibat kontraksi otot.
Pengukuran terhadap postur tubuh dengan metode RULA pada prinsipnya adalah mengukur sudut dasar yaitu sudut yang dibentuk oleh perbedaan anggota tubuh (limbs) dengan titik tertentu pada postur tubuh yang dinilai. Dapat secara langsung dilakukan pada pekerja dengan menggunakan peralatan pengukur sudut, seperti: busur, elektro-goniometer atau peralatan ukur sudut lainnya atau juga dengan kamera.
Metode ini, harus dilakukan terhadap kedua sisi anggota tubuh kiri dan kanan, membagi anggota tubuh kerja dalam dua segmen yang membentuk dua group yang terpisah yaitu Group A meliputi anggota tubuh bagian atas (lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan) dan Group B meliputi kaki, badan (trunk), leher. Selanjutnya, skor A dan B dihitung dengan menggunakan tabel dengan memasukkan skor untuk masing-masing postur tubuh secara individu yang didapatkan dari pengukuran sudut yang dibentuk oleh perbedaan anggota tubuh pekerja. Kemudian, total skor ini dapat dimodifikasi tergantung pada jenis aktivitas otot yang terlibat dan pengerahan tenaga selama melakukan pekerjaan dan didapatkan nilai total. Grand skor yang diperoleh merupakan proporsional dari resiko yang terjadi selama pekerjaan berlangsung, sehingga skor tertinggi mengindikasikan resiko gangguan otot skeletal yang tertinggi pula. Grand skor dibagi kerja dalam tingkat aksi yang dilakukan sebagai pedoman yang dibuat setelah penilaian dengan rentang nilai 1 (tidak ada resiko atau dalam batas diperkenankan tanpa resiko yang berarti) s/d 4 (mengindikasikan perlu adanya perbaikan segera karena berada pada tingkat resiko tinggi).
Prosedur aplikasi metode RULA:
1.             Menentukan siklus kerja dan mengobservasi pekerja selama variasi siklus kerja tersebut,
2.             Memilih postur tubuh yang akan dinilai.
3.             Memutuskan untuk menilai kedua sisi anggota tubuh.
4.             Menentukan skor postur tubuh untuk masing-masing anggota tubuh.
5.             Menghitung grand skor dan action level untuk menilai kemungkinan resiko yang terjadi.
6.             Merevisi skor postur tubuh untuk anggota tubuh yang berbeda yang digunakan untuk menentukan dimana perbaikan diperlukan.
7.             Redesain stasiun kerja atau mengadakan perubahan untuk perbaikan postur tubuh saat kerja bila diperlukan.
8.             Jika perubahan untuk perbaikan telah dilakukan, perlu melakukan penilaian kembali terhadap postur tubuh dengan metode RULA untuk memastikan bahwa perbaikan telah berjalan sesuai yang diinginkan.

c.       Metode REBA (Rapid Entire Body Assessment)
Metode REBA diperkenalkan oleh Sue Hignett dan Lynn McAtamney dan diterbitkan dalam jurnal Applied Ergonomics tahun 2000. Metode ini merupakan hasil kerja kolaboratif oleh tim ergonomis, fisioterapi, ahli okupasi dan para perawat yang mengidentifikasi sekitar 600 posisi di industri manufakturing. Metode REBA memungkinkan dilakukan sesuatu analisis secara bersama dari posisi yang terjadi pada anggota tubuh bagian atas (lengan, lengan bawah dan pergelangan tangan), badan, leher dan kaki. Metode ini juga mendefinisikan faktor-faktor lainnya yang dianggap dapat menentukan untuk penilaian akhir dari postur tubuh atau posisi tidak stabil. Dalam hal ini, perlu disebutkan apakah posisi anggota tubuh bagian atas dilakukan dengan melawan gravitasi, karena faktor gravitasi berkaitan erat dengan  posisi tubuh seseorang. Untuk definisi segmen tubuh yang dianalisis untuk serangkaian pekerjaan merupakan metode yang sederhana dengan variasi beban dan gerakan. Banyak penelitian sejenis telah dilakukan dengan menggunakan berbagai metodologi, dengan reliabilitas yang telah diakui oleh para ahli ergonomis seperti metode NIOSH-RWL (Waters, et.al., 1993), metode OWAS (Karhu, et.al., 1994), dan metode RULA (McAtamney dan Corlett, 1993). 
Metode REBA merupakan suatu alat analisi postural yang sangat sensitif terhadap pekerjaan yang melibatkan perubahan mendadak dalam posisi, biasanya sebagai akibat dari penanganan kontainer yang tidak stabil atau tidak terduga. Penerapan metode ini ditujukan untuk mencegah terjadinya resiko cedera yang berkaitan dengan posisi, terutama pada otot-otot skeletal. Oleh karena itu, metode ini dapat berguna untuk melakukan pencegahan resiko dan dapat digunakan sebagai peringatan bahwa terjadi kondisi kerja yang tidak tepat ditempat kerja.
1.      Metode REBA merupakan metode yang sangat sensitif untuk mengevaluasi resiko, khususnya pada sistem muskuloskeletal.
2.      Metode REBA membagi menjadi segmen-segmen tubuh yang akan diberi kode secara individu, dan mengevaluasi baik anggota badan bagian atas maupun badan, leher, dan kaki.
3.      Metode ini digunakan untuk menganilisi pengaruh pada beban postural selama penanganan kontainer yang dilakukan dengan tangan atau bagian tubuh lainnya.
4.      Metode ini dianggap relevan untuk jenis kontainer yang mempunyai pegangan.
5.      Memungkinkan untuk melakukan penilaian terhadap aktivitas otot yang disebabkan oleh posisi tubuh statis, dinamis, atau karena terjadinya perubahan postur yang tak terduga atau tiba-tiba.
6.      Hasilnya adalah untuk menentukan tingkat resiko cedera dengan menetapkan tingkat tindakan korektif yang diperlukan dan melakukan intervensi untuk perbaikan segera.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
a. Keluhan pada sistem muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot  rangka yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit.
b. Faktor Penyebab Keluhan Pada Gangguan Muskuloskeletal: peregangan otot yang berlebihan, aktivitas berulang, sikap kerja tidak alamiah, faktor penyebab sekunder (tekanan,getaran,mikroklimat) dan penyebab kombinasi (umur, jenis kelamin, kebiasaan merokok, kesegaran jasmani, kekuatan fisik, ukuran tubuh (antropometri)).
c.  Langkah Mengatasi Keluhan Sistem Muskuloskeletal adalah dengan Rekayasa Teknik dan Rekayasa Manajemen.
d.  Metode yang dapat dilakukan dalam penilaian keluhan sistem muskuloskeletal adalah ‘OWAS’, ‘RULA’ dan ‘REBA’.

3.2. Saran
Seharusnya dalam melakukan kajian terhadap metode penilaian gangguan muskuloskeletal harus lebih rinci lagi. Agar penanganan yang dilakukan untuk gangguan muskuloskeletal dapat teratasi dengan baik.







DAFTAR PUSTAKA
Suratum, SKM dkk. 2008. Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal. EGC: Jakarta