Minggu, 02 Desember 2012

Kecemburuan Para Kader


Kecemburuan Para Kader

Oleh : Cahyadi Takariawan

Ini termasuk pesan penting yang ingin aku sampaikan. Hendaklah berhati-hati dalam mengelola kecemburuan di lingkungan kader dakwah. Maaf seribu bahkan sejuta maaf. Ini hal sensitif. Namun akan semakin sensitif jika tidak disampaikan.

Cemburu adalah tanda cinta. Tanpa cinta, tidak akan muncul kecemburuan.

Cobalah kita ingat kisah pembagian harta rampasan perang Hunain. Seusai perang Hunain, Rasulullah saw membagi-bagi harta rampasan kepada yang berhak secara adil dan bijaksana. Abu Sufyan bin Harb, tokoh penentang Islam sejak awal dakwah di Makah itu, telah mendapatkan bagian seratus ekor unta dan empat puluh uqiyah perak. Demikian pula Yazid dan Mu’awiyah, dua orang anak Abu Sofyan, mendapat bagian yang sama dengan bapaknya. Kepada tokoh-tokoh Quraisy yang lain beliau memberikan bagian seratus ekor unta. Adapula yang mendapatkan bagian lebih sedikit dari itu, hingga seluruh harta rampasan habis dibagikan.

Melihat pembagian itu, para sahabat Anshar memandang lain. Mereka seakan-akan merasa terlupakan oleh Rasulullah saw, ya, tak sedikitpun dari sekian harta rampasan perang itu yang diberikan kepada mereka. Rasulullah justru memberikan bagian yang banyak kepada orang-orang yang dulunya amat gigih memerangi dakwah Islam. Padahal kaum Anshar lah yang telah memberikan loyalitas penuh dalam berbagai perjuangan kaum muslimin. Sejak menampung kaum Muhajirin dengan penuh keikhlasan, sampai kepada keterlibatan dalam perang demi membela agama Allah swt.

Muncullah gejolak di kalangan sahabat Anshar, hingga seorang di antara mereka berkata, ”Mudah-mudahan Allah memberikan ampunan kepada RasulNya, karena beliau telah memberi kepada orang Quraisy dan tak memberi kepada kami, padahal pedang-pedang kami yang menitikkan darah-darah mereka.”

Adapula di antara mereka yang berkata, “Rasulullah sekarang telah menemukan kembali kaum kerabatnya.”

Melihat gejala yang berkembang itu, Sa’ad bin Ubadah segera melaporkan kepada Rasulullah saw, meskipun ia dapat memahami perasaan kaumnya, akan tetapi terasa tak baik dibiarkan terus berkepanjangan. Mendengar laporan tersebut Rasulullah saw bertanya, ”Bagaimana perasaan kamu sendiri ya Sa’ad ?” Sa’ad menjawab, “Ya Rasulullah, aku adalah bagian dari kaumku.”

“Kumpulkan kaum Anshar di tempat ini,” kata Rasulullah saw.

Segera Sa’ad bin Ubadah mengumpulkan segenap kaum Anshar, menghadap Rasulullah saw. Setelah semuanya berkumpul, kemudian Rasulullah bertanya kepada mereka :

“Apakah ucapan kalian yang telah sampai kepada saya ?”

Mereka menjawab, “Ya Rasulullah, para ketua kami tidaklah mengatakan sesuatu pun. Hanya kami para pemuda, yang berkata, “Semoga Allah  mengampuni RasulNya. Beliau telah memberi orang Quraisy dan meninggalkan kami, padahal pedang-pedang kamilah yang telah menitikkan darah-darah mereka.”

Rasulullah bersabda, “Hai orang-orang Anshar, bukankah aku datang kepada kalian, sedang kalian dalam kesesatan, lalu Allah memberi petunjuk kepada kalian dengan perantaraan aku ? Dan kalian dalam kepapaan, lalu Allah  memberi kemampuan kepada kalian karena aku ? Dan dulu kalian bermusuhan, lalu Allah  mempersatukan kalian karena aku ?”

Kaum  Anshar menjawab, “Benar, Allah dan RasulNya amat pemurah dan mengaruniai !”

“Tidakkah kalian menjawab aku wahai kaum Anshar ?” tanya Rasulullah kepada mereka.

“Dengan apa kami harus menjawab engkau ya Rasulullah padahal bagi Allah  dan RasulNya semua kemurahan dan keutamaan”, jawab kaum Anshar.

Rasulullah bertanya lagi, “Apakah yang menghalangi engkau menjawab kepada Rasulullah ?”

“Ya Rasulullah, engkau mendapati kami tengah dalam kegelapan, lalu Allah  mengeluarkan kami kepada cahaya lantaran engkau. Dan engkau mendapati kami tengah di tepi jurang api neraka lalu Allah menyelamatkan kami lantaran engkau. Dan engkau mendapati kami dalam kesesatan, lalu Allah menunjuki kami lantaran engkau. Maka dari itu kami telah ridha Allah  sebagar Tuhan kami, dan Islam sebagai dien kami, dan kepada Muhammad sebagai nabi. Maka berbuatlah sekehendakmu, karena engkau adalah kehalalan, ya Rasulullah “, jawab mereka.

Namun seakan-akan Rasulullah belum mendapatkan jawaban yang tuntas, ketika bersabda kepada mereka :

“Demi Allah, sekiranya mau tentu kalian berkata, pasti kalian dibenarkan : Bukankah engkau (ya Rasulullah) datang kepada kami dalam keadaan  didustakan, lalu kami (Anshar) yang membenarkan engkau. Bukankah engkau dihinakan, lalu kami menolong engkau. Bukankah engkau datang sebagai orang usiran, lalu kami melindungi engkau, dan engkau dalam kedaan miskin, lalu kami memberi kemampuan kepada engkau. Engkau datang sebagai orang yang takut, lalu kami mengamankan engkau. Apakah kalian dapati pada diri kalian, sekelumit dari hal dunia; dimana aku akan menjinakan satu golongan dengan sekelumit keduniaan itu agar mereka masuk Islam, sedang aku menyerahkan kalian kepada keislaman kalian yang teguh ?”

“Benar ya Rasulullah, kami sungguh telah ridha”, jawab kaum Anshar.

“Hai kaum Anshar ! Tidaklah kalian rela, bahwa orang-orang pergi dengan membawa kambing dan unta, sedangkan kalian kembali dengan membawa Rasulullah ke tempat tinggal kalian ? Demi Dzat yang Muhammad di tangan-Nya, jika bukan karena hijrah, tentu aku menjadi golongan Anshar ! Jika sekiranya orang-orang menempuh lembah dan tepi gunung, sedang orang Anshar menempuh lembah atau tepi gunung yang lain, niscaya aku menempuh jalan yag dilalui orang-orang Anshar !’ lanjut Rasulullah.

Tanpa terasa sebagaian besar kaum Anshar yang tengah berhadapan dengan Rasulullah itu mencucurkan air mata. Tangis yang amat mendalam disebabkan karena kecintaan mereka terhadap Rasulullah, hingga janggut-janggut mereka basah oleh air mata. Akhirnya, mereka serentak menjawab :

“Kami telah ridha kepada Rasulullah sebagai pembagian dan pemberian !”

Kita menyaksikan suatu dialog dari kedalaman hati, dialog dari orang-orang yang saling mencintai dan berkasih sayang karena Allah semata. Apakah kiranya yang akan terjadi, jika gejolak perasaan  kaum Anshar terhadap Rasulullah dibiarkan terpendam, dan menjadi ganjalan di kalangan mereka ? Rasulullah saw sadar betul bahaya dalam dakwah yang bisa muncul, sehingga masalah tersebut dituntaskan secara langsung.

Kita menyaksikan sebuah drama kemanusiaan yang terjadi di zaman keemasan Islam. Sangat mengharu biru perasaan kita, namun juga penuh hikmah yang berkilauan bak mutiara. Pelajaran pertama adalah ”kemungkinan” terjadinya perasaan kecemburuan di kalangan kader dakwah, bahkan di zaman dan generasi terbaik umat Islam. Kendati para sahabat adalah kader pilihan yang dibina oleh murabbi pilihan Allah, yaitu Nabi saw, namun proses tarbiyah sama sekali tidak bermakna menghilangkan sisi-sisi kemanusiaan.

Tarbiyah tidak menghasilkan kualitas malaikat, yang tidak punya ”pilihan perasaan dan kecenderungan”. Kader dakwah dibina, berapa lamapun mereka dibina, oleh murabbi sehebat apapun, tetap menjadi kader yang memelihara perasaan dan kecenderungan kemanusiaan. Maka, wajar ketika kita saksikan munculnya sisi manusiawi di lingkungan sahabat Nabi saw.

Pelajaran kedua adalah keinginan semua pihak untuk merawat kebaikan.  Sikap Sa’ad bin Ubadah yang melaporkan kecemburuan sebagian sahabat kepada Rasulullah saw adalah tindakan yang didasarkan keinginan mulia untuk merawat kebaikan. Bukan tindakan mencari muka di hadapan Nabi saw, bukan tindakan untuk menghancurkan nama baik sahabat lainnya dengan melaporkan kekurangan dan kelemahan sahabat. Bukan untuk mematikan karakter sahabat lainnya. Namun justru untuk merawat kebaikan itu sendiri di lingkungan kader dakwah.

Pelajaran ketiga, sikap bijak qiyadah saat menerima laporan. Rasulullah tidak menerima begitu saja laporan Sa’ad. Beliau melakukan konfirmasi “Kumpulkan kaum Anshar di tempat ini,” kata Rasulullah saw. Setelah mereka berkumpul, Nabi saw bertanya, “Apakah ucapan kalian yang telah sampai kepada saya ?” Tampak beliau saw ingin mendengar sendiri, mendengar langsung aspirasi, uneg-uneg, ganjalan perasaan para sahabat. Beliau tidak ingin melukai hati para sahabat.

Pelajaran keempat, Nabi saw memberikan penjelasan secara gamblang atas kebijakan yang beliau ambil dalam pembagian ghanimah. Tindakan ini menunjukkan, Nabi saw proaktif memberikan bayan, penjelasan yang diperlukan terkait kebijakan yang sempat meresahklan sebagian kader. Beliau tidak mendiamkan atau membiarkan saja adanya omongan, perbincangan , diskusi kecil yang tidak konstruktif di kalangan kader dakwah.

Pelajaran kelima, sikap bijak para sahabat setelah mendapat penjelasan. Mereka yang menyimpan rasa cemburu dan mempertanyakan kebijakan Nabi saw, bisa menerima dengan baik penjelasan Nabi saw. Mereka tidak berdebat, bertikai, menuduh qiyadah secara membabi buta. Mereka bertanya, dan setelah mendapat penjelasan yang gamblang, mereka mudah menerima dan tidak mempersoalkan lagi. Dengan janggut yang basah oleh air mata, mereka serentak menjawab : “Kami telah ridha kepada Rasulullah sebagai pembagian dan pemberian !”

Sikap yang ditunjukkan kaum Anshar dalam pembagian ghanimah itu sepertinya lebih disebabkan karena perasaan takut kehilangan perhatian Rasulullah, bukan sekedar karena tak mendapat bagian. Namun akhirnya mereka sadar dan bisa menerima kebijakan Rasulullah itu setelah mendapatkan penjelasan langsung dari Nabi saw.

Alangkah indahnya kalau dalam organisasi dakwah, kita semua sanggup berbicara, berdiskusi, berkomunikasi dengan bahasa hati. Dengan bahasa cinta. Dengan membawa hati dan jiwa yang bersih. Tidak dengan tuduhan, caci maki, sumpah serapah, yang sangat jauh dari etika Islam.

Alangkah indahnya kalau dalam gerakan dakwah, semua pihak bisa menjaga adab sesuai posisi masing-masing. Ada adab qiyadah, ada adab jundiyah. Bukankah kita semua berkumpul dalam dakwah karena ikatan kecintaan, ikatan ukhuwah, ikatan kebersamaan ? Bukan ikatan kepentingan , bukan ikatan kedengkian, bukan ikatan politik, bukan ikatan materi. Lalu mengapa ada yang harus terluka ?

Oleh : Cahyadi Takariawan

Ini termasuk pesan penting yang ingin aku sampaikan. Hendaklah berhati-hati dalam mengelola kecemburuan di li
ngkungan kader dakwah. Maaf seribu bahkan sejuta maaf. Ini hal sensitif. Namun akan semakin sensitif jika tidak disampaikan.

Cemburu adalah tanda cinta. Tanpa cinta, tidak akan muncul kecemburuan.

Cobalah kita ingat kisah pembagian harta rampasan perang Hunain. Seusai perang Hunain, Rasulullah saw membagi-bagi harta rampasan kepada yang berhak secara adil dan bijaksana. Abu Sufyan bin Harb, tokoh penentang Islam sejak awal dakwah di Makah itu, telah mendapatkan bagian seratus ekor unta dan empat puluh uqiyah perak. Demikian pula Yazid dan Mu’awiyah, dua orang anak Abu Sofyan, mendapat bagian yang sama dengan bapaknya. Kepada tokoh-tokoh Quraisy yang lain beliau memberikan bagian seratus ekor unta. Adapula yang mendapatkan bagian lebih sedikit dari itu, hingga seluruh harta rampasan habis dibagikan.

Melihat pembagian itu, para sahabat Anshar memandang lain. Mereka seakan-akan merasa terlupakan oleh Rasulullah saw, ya, tak sedikitpun dari sekian harta rampasan perang itu yang diberikan kepada mereka. Rasulullah justru memberikan bagian yang banyak kepada orang-orang yang dulunya amat gigih memerangi dakwah Islam. Padahal kaum Anshar lah yang telah memberikan loyalitas penuh dalam berbagai perjuangan kaum muslimin. Sejak menampung kaum Muhajirin dengan penuh keikhlasan, sampai kepada keterlibatan dalam perang demi membela agama Allah swt.

Muncullah gejolak di kalangan sahabat Anshar, hingga seorang di antara mereka berkata, ”Mudah-mudahan Allah memberikan ampunan kepada RasulNya, karena beliau telah memberi kepada orang Quraisy dan tak memberi kepada kami, padahal pedang-pedang kami yang menitikkan darah-darah mereka.”

Adapula di antara mereka yang berkata, “Rasulullah sekarang telah menemukan kembali kaum kerabatnya.”

Melihat gejala yang berkembang itu, Sa’ad bin Ubadah segera melaporkan kepada Rasulullah saw, meskipun ia dapat memahami perasaan kaumnya, akan tetapi terasa tak baik dibiarkan terus berkepanjangan. Mendengar laporan tersebut Rasulullah saw bertanya, ”Bagaimana perasaan kamu sendiri ya Sa’ad ?” Sa’ad menjawab, “Ya Rasulullah, aku adalah bagian dari kaumku.”

“Kumpulkan kaum Anshar di tempat ini,” kata Rasulullah saw.

Segera Sa’ad bin Ubadah mengumpulkan segenap kaum Anshar, menghadap Rasulullah saw. Setelah semuanya berkumpul, kemudian Rasulullah bertanya kepada mereka :

“Apakah ucapan kalian yang telah sampai kepada saya ?”

Mereka menjawab, “Ya Rasulullah, para ketua kami tidaklah mengatakan sesuatu pun. Hanya kami para pemuda, yang berkata, “Semoga Allah mengampuni RasulNya. Beliau telah memberi orang Quraisy dan meninggalkan kami, padahal pedang-pedang kamilah yang telah menitikkan darah-darah mereka.”

Rasulullah bersabda, “Hai orang-orang Anshar, bukankah aku datang kepada kalian, sedang kalian dalam kesesatan, lalu Allah memberi petunjuk kepada kalian dengan perantaraan aku ? Dan kalian dalam kepapaan, lalu Allah memberi kemampuan kepada kalian karena aku ? Dan dulu kalian bermusuhan, lalu Allah mempersatukan kalian karena aku ?”

Kaum Anshar menjawab, “Benar, Allah dan RasulNya amat pemurah dan mengaruniai !”

“Tidakkah kalian menjawab aku wahai kaum Anshar ?” tanya Rasulullah kepada mereka.

“Dengan apa kami harus menjawab engkau ya Rasulullah padahal bagi Allah dan RasulNya semua kemurahan dan keutamaan”, jawab kaum Anshar.

Rasulullah bertanya lagi, “Apakah yang menghalangi engkau menjawab kepada Rasulullah ?”

“Ya Rasulullah, engkau mendapati kami tengah dalam kegelapan, lalu Allah mengeluarkan kami kepada cahaya lantaran engkau. Dan engkau mendapati kami tengah di tepi jurang api neraka lalu Allah menyelamatkan kami lantaran engkau. Dan engkau mendapati kami dalam kesesatan, lalu Allah menunjuki kami lantaran engkau. Maka dari itu kami telah ridha Allah sebagar Tuhan kami, dan Islam sebagai dien kami, dan kepada Muhammad sebagai nabi. Maka berbuatlah sekehendakmu, karena engkau adalah kehalalan, ya Rasulullah “, jawab mereka.

Namun seakan-akan Rasulullah belum mendapatkan jawaban yang tuntas, ketika bersabda kepada mereka :

“Demi Allah, sekiranya mau tentu kalian berkata, pasti kalian dibenarkan : Bukankah engkau (ya Rasulullah) datang kepada kami dalam keadaan didustakan, lalu kami (Anshar) yang membenarkan engkau. Bukankah engkau dihinakan, lalu kami menolong engkau. Bukankah engkau datang sebagai orang usiran, lalu kami melindungi engkau, dan engkau dalam kedaan miskin, lalu kami memberi kemampuan kepada engkau. Engkau datang sebagai orang yang takut, lalu kami mengamankan engkau. Apakah kalian dapati pada diri kalian, sekelumit dari hal dunia; dimana aku akan menjinakan satu golongan dengan sekelumit keduniaan itu agar mereka masuk Islam, sedang aku menyerahkan kalian kepada keislaman kalian yang teguh ?”

“Benar ya Rasulullah, kami sungguh telah ridha”, jawab kaum Anshar.

“Hai kaum Anshar ! Tidaklah kalian rela, bahwa orang-orang pergi dengan membawa kambing dan unta, sedangkan kalian kembali dengan membawa Rasulullah ke tempat tinggal kalian ? Demi Dzat yang Muhammad di tangan-Nya, jika bukan karena hijrah, tentu aku menjadi golongan Anshar ! Jika sekiranya orang-orang menempuh lembah dan tepi gunung, sedang orang Anshar menempuh lembah atau tepi gunung yang lain, niscaya aku menempuh jalan yag dilalui orang-orang Anshar !’ lanjut Rasulullah.

Tanpa terasa sebagaian besar kaum Anshar yang tengah berhadapan dengan Rasulullah itu mencucurkan air mata. Tangis yang amat mendalam disebabkan karena kecintaan mereka terhadap Rasulullah, hingga janggut-janggut mereka basah oleh air mata. Akhirnya, mereka serentak menjawab :

“Kami telah ridha kepada Rasulullah sebagai pembagian dan pemberian !”

Kita menyaksikan suatu dialog dari kedalaman hati, dialog dari orang-orang yang saling mencintai dan berkasih sayang karena Allah semata. Apakah kiranya yang akan terjadi, jika gejolak perasaan kaum Anshar terhadap Rasulullah dibiarkan terpendam, dan menjadi ganjalan di kalangan mereka ? Rasulullah saw sadar betul bahaya dalam dakwah yang bisa muncul, sehingga masalah tersebut dituntaskan secara langsung.

Kita menyaksikan sebuah drama kemanusiaan yang terjadi di zaman keemasan Islam. Sangat mengharu biru perasaan kita, namun juga penuh hikmah yang berkilauan bak mutiara. Pelajaran pertama adalah ”kemungkinan” terjadinya perasaan kecemburuan di kalangan kader dakwah, bahkan di zaman dan generasi terbaik umat Islam. Kendati para sahabat adalah kader pilihan yang dibina oleh murabbi pilihan Allah, yaitu Nabi saw, namun proses tarbiyah sama sekali tidak bermakna menghilangkan sisi-sisi kemanusiaan.

Tarbiyah tidak menghasilkan kualitas malaikat, yang tidak punya ”pilihan perasaan dan kecenderungan”. Kader dakwah dibina, berapa lamapun mereka dibina, oleh murabbi sehebat apapun, tetap menjadi kader yang memelihara perasaan dan kecenderungan kemanusiaan. Maka, wajar ketika kita saksikan munculnya sisi manusiawi di lingkungan sahabat Nabi saw.

Pelajaran kedua adalah keinginan semua pihak untuk merawat kebaikan. Sikap Sa’ad bin Ubadah yang melaporkan kecemburuan sebagian sahabat kepada Rasulullah saw adalah tindakan yang didasarkan keinginan mulia untuk merawat kebaikan. Bukan tindakan mencari muka di hadapan Nabi saw, bukan tindakan untuk menghancurkan nama baik sahabat lainnya dengan melaporkan kekurangan dan kelemahan sahabat. Bukan untuk mematikan karakter sahabat lainnya. Namun justru untuk merawat kebaikan itu sendiri di lingkungan kader dakwah.

Pelajaran ketiga, sikap bijak qiyadah saat menerima laporan. Rasulullah tidak menerima begitu saja laporan Sa’ad. Beliau melakukan konfirmasi “Kumpulkan kaum Anshar di tempat ini,” kata Rasulullah saw. Setelah mereka berkumpul, Nabi saw bertanya, “Apakah ucapan kalian yang telah sampai kepada saya ?” Tampak beliau saw ingin mendengar sendiri, mendengar langsung aspirasi, uneg-uneg, ganjalan perasaan para sahabat. Beliau tidak ingin melukai hati para sahabat.

Pelajaran keempat, Nabi saw memberikan penjelasan secara gamblang atas kebijakan yang beliau ambil dalam pembagian ghanimah. Tindakan ini menunjukkan, Nabi saw proaktif memberikan bayan, penjelasan yang diperlukan terkait kebijakan yang sempat meresahklan sebagian kader. Beliau tidak mendiamkan atau membiarkan saja adanya omongan, perbincangan , diskusi kecil yang tidak konstruktif di kalangan kader dakwah.

Pelajaran kelima, sikap bijak para sahabat setelah mendapat penjelasan. Mereka yang menyimpan rasa cemburu dan mempertanyakan kebijakan Nabi saw, bisa menerima dengan baik penjelasan Nabi saw. Mereka tidak berdebat, bertikai, menuduh qiyadah secara membabi buta. Mereka bertanya, dan setelah mendapat penjelasan yang gamblang, mereka mudah menerima dan tidak mempersoalkan lagi. Dengan janggut yang basah oleh air mata, mereka serentak menjawab : “Kami telah ridha kepada Rasulullah sebagai pembagian dan pemberian !”

Sikap yang ditunjukkan kaum Anshar dalam pembagian ghanimah itu sepertinya lebih disebabkan karena perasaan takut kehilangan perhatian Rasulullah, bukan sekedar karena tak mendapat bagian. Namun akhirnya mereka sadar dan bisa menerima kebijakan Rasulullah itu setelah mendapatkan penjelasan langsung dari Nabi saw.

Alangkah indahnya kalau dalam organisasi dakwah, kita semua sanggup berbicara, berdiskusi, berkomunikasi dengan bahasa hati. Dengan bahasa cinta. Dengan membawa hati dan jiwa yang bersih. Tidak dengan tuduhan, caci maki, sumpah serapah, yang sangat jauh dari etika Islam.

Alangkah indahnya kalau dalam gerakan dakwah, semua pihak bisa menjaga adab sesuai posisi masing-masing. Ada adab qiyadah, ada adab jundiyah. Bukankah kita semua berkumpul dalam dakwah karena ikatan kecintaan, ikatan ukhuwah, ikatan kebersamaan ? Bukan ikatan kepentingan , bukan ikatan kedengkian, bukan ikatan politik, bukan ikatan materi. Lalu mengapa ada yang harus terluka ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar