Dua majikan dengan dua budak menghadap Umar Bin Khattab. Salah satu majikan mengadu bahwa ontanya telah di curi oleh dua orang budak milik majikan yang satunya.
Umar bertanya kepada para budak
“Apakah benar kalian telah mencuri untanya,” tanya Umar. “Benar ya Amirul Mukminin,” jawab dua budak tersebut ketakutan. “Kalau begitu saya akan menegakkan hukum Islam kepada kalian berdua,” ujar Umar.
Dalam hukum Islam, pencuri dihukum potong tangan. Dua budak tersebut semakin ketakutan, mulut mereka bergetar, tidak mampu menjawab.
“Tapi, saya mau bertanya, kalian apakan onta itu?,” lanjut Umar. Budak itu diam, tidak menjawab. “Tidak usah takut, jawablah dengan jujur,” kata Umar.
“Kami sembelih dan kami makan ya Amirul Mukminin. Kami kelaparan dan belum makan,” akhirnya mereka menjawab dengan terbata-bata.
Umar menarik nafas panjang dan menatap mereka berempat.
“Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,”
kata Umar membacakan surah Al maaidah ayat 3. Kedua budak tersebut dibebaskan dari hukum potong tangan. Umar membiarkan mereka keluar dari ruangannya.
Umar mengalihkan pandang kepada majikan dua budak tersebut. “Kamu memperkerjakan budak, tapi kamu membiarkan mereka kelaparan, maka kamu yang harus menanggung semua perbuatan mereka,” kata Umar tegas.
Majikan yang dicuri ontanya bertanya kepada Umar
“Lalu bagaimana dengan onta saya ya Amirul, siapa yang akan mengganti kerugiannya?” katanya menuntut ganti atas ontanya dicuri. “Berapa harga ontamu,” Tanya Umar. “400 Had,” jawabnya.
Umar kembali mengalihkan pandangan kepada majikan yang memiliki dua budak yang telah mencuri onta itu, dan berkata “Bayar 800 Had, kamu juga harus membayar denda atas perbuatan budakmu,” kata Umar.
Begitulah cara Umar menyelesaikan sangketa yang terjadi pada umat Muslim di masa kekhalifahannya. Umar terkenal dengan sikapnya yang tegas dan adil.
*****
Kisah diatas mengingatkan saya tentang sebuah peristiwa yang terjadi di masa kini. Di sebuah perusahaan yang lumayan besar di kota Jakarta dan memiliki beberapa cabang termasuk di daerah. Sebagai catatan, pemilik perusahaan ini adalah seorang yang mengerti agama dan sudah tertarbiyah pula.
Bekerjalah seorang OB di perusahaan tersebut dan memiliki gaji dibawah UMR (dibawah 1 Juta). Kalau saja istrinya tidak ikut bekerja, maka pastilah ia akan kesulitan membayar uang kontrakan rumah setiap bulannya. Belum lagi untuk biaya hidup sehari-hari dan juga untuk membayar uang kuliahnya (ia ambil kuliah malam).
Suatu hari, perusahaan itu menitipkan uang sejumlah Rp 5 Juta kepada si OB untuk membelanjakan keperluan kantor. Rupanya desakan kebutuhan dan kesulitan hidup telah menggoda si OB untuk menggelapkan uang tersebut dan digunakan untuk kebutuhan kuliah dan hidupnya sehari-hari. Alhasil, tak lama kemudian perbuatannya tersebut ketahuan oleh perusahaan.
Iapun mendapat sanksi pemecatan dari perusahaan. Namun sebelum keluar, ia wajib bekerja tanpa gaji di perusahaan tersebut sampai uang yang dipakainya tadi terbayar lunas.
Bandingkan dengan kisah di atas, tanpa bermaksud membenarkan tindakan pencurian dari si OB. Secara substansi hampir mirip-mirip. Sama-sama terpaksa dan tergoda untuk menggunakan yang bukan haknya disebabkan oleh 'kesewenangan' sang majikan.
Yang satu tega memberikan upah jauh dibawah batas normal sementara yang di atas tega menahan (tidak membayarkan) upah pegawainya sehingga membuatnya kelaparan.
Semua perbuatan buruk memang akan meninggalkan akibat yang buruk bahkan terhadap orang lain dalam hal ini adalah anak dan istri.
Tapi perlu diingat pula bahwa kejahatan yang terjadi disebabkan oleh 'kejahatan' lain yang secara sistematis dilakukan. Dalam kasus OB adalah 'kejahatan' atas rendahnya gaji yang diberikan. Bayangkan saja, dengan gaji dibawah Rp 1 Juta, harus survive hidup di Jakarta bersama istri dan anaknya.
Khilafah memang belum tegak, tapi bukan lantas berarti keteladanan Umar dalam memutuskan sebuah perkara tidak layak untuk ditiru. Apalagi jika masalah tersebut bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Ironis memang, kadang kita merasa lebih 'Khalifah' ketimbang Amirul Mukminin Umar bin Khattab.
Wallahu a'lam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar