Senin, 07 Januari 2013

... INDAHNYA HATI YANG MENYATU DALAM PERNIKAHAN ...



“Engkau mengira mereka sudah menyatu padu, padahal hati mereka tercerai-berai.”

(QS. Al Hasyr 59 : 14)

Banyak motif yang ingin dicapai orang dengan pernikahan. Selalu saja ada harapan yang tersimpan terhadap pasangan, bahkan di balik sikap diam sekalipun. Ada yang mengejar harta, rupa yang jelita, popularitas, kehormatan, kedudukan dan lain-lain. Alasan-alasan demikian jamak kita temukan pada kebanyakan manusia.

Tapi mukmin sejati jelas beda, sama sekali beda. Sebab bagi orang beriman itu semua hanyalah pernak-pernik duniawi yang kecil harganya. Sifatnya fana; lekas diperoleh, cepat pula hilangnya. Orang yang dadanya sudah dipenuhi iman tak bisa digoda oleh dunia yang tiada berharga.

Betapa gampang mendapatkan orang cantik jelita atau gagah, tapi kelebihan itu pula yang sering mendatangkan malapetaka. Bukankah banyak orang rupawan yang merana saat kebanggaannya hilang dimakan usia atau hancur dimamah musibah. Menggaet orang yang prestisius, ngetop atau terhormat di mata manusia juga mudah. Tapi ini negara kejam, betapa banyak orang-orang terkenal, hebat dan terhormat jatuh hina dina. Yang dahulu pusat perhatian, sekarang tiada lagi dipandang.

Ternyata apa yang didamba orang kebanyakan belum jaminan kokohnya mahligai rumah tangga. Sekali lagi, hal yang demikian bagi hamba beriman fana belaka. Andai Allah menakdirkan seorang mukmin menjadi laki-laki sempurna, maka dia tak akan sudi menerima perempuan yang mengejar kelebihannya saja. Dia tentu menolak dinikahi gara-gara embel-embel duniawi, bukan harap keindahan kepribadiannya.

Kalaupun ada perempuan sempurna yang punya semua kelebihan di atas, laki-laki mukmin tak akan mengharapkannya. Perjuangan akan kurang maknanya untuk perempuan yang demikian hebat. Masih banyak muslimah lain yang lebih berhak diperjuangkan.

Manusia memang tidak pantas mengharapkan kesempurnaan, sebab yang demikian itu mustahil ada di dunia ini. Namun kita berhak meminta hati yang utuh dan tulus dari pasangan sah. Kalau bisa diibaratkan, hati yang utuh bagaikan lingkaran yang bulat penuh itu tidak sumbang sedikitpun. Jangankan separuh hati, tergores saja sedikit maka dia tidak sempurna.

Pernikahan merupakan rute hidup yang banyak masalah, silih berganti dan tiada pernah usai. Bagaimana mungkin menghadapinya kalau hati suami istri tidak menyatu atau tidak kompak. Gara-gara ia berbagi dengan yang lain, walau cuma secuil. Mungkin permintaan begini rada-rada aneh, tapi itulah yang hakiki sebagai pondasi utama dalam membina rumah tangga sakinah. Menikah sesungguhnya menyatukan dua hati, bukan dua tubuh. Sebab yang dinikahi adalah hati bukan tubuh. Kalau menyatukan dua fisik saja, apa bedanya dengan hewan? Padahal kita manusia yang dilebihkan akal budi. Mengapa harus merendahkan diri dengan sesuatu yang tiada bernilai di hadapan Allah.

Perkara hati adalah misteri yang paling rumit; hanya yang bersangkutan dan Allah saja yang tahu. Oleh karena itu, saatnya jujur pada suara nurani; sanggupkah memberikan hati yang sempurna bagi pasangan yang sah?

Sungguh malang jika suami atau istri hanya mendapatkan hati yang compang-camping. Andai cuma dapat hati yang sumbing atau separuh, maka bersiap memasuki takdir yang pahit. Inilah musibah terbesar bagi masa depan cinta. Kemalangan terperih yang akan ditangisi sampai akhir hayat. Sekaligus titik lemah paling berbahaya bagi mahligai rumah tangga.

Mengapa ngotot mempertanyakan? Secara kejiwaan hati manusia tidak bisa berbagi. Sekali menerima seseorang di hatinya, dia tak akan lupa sampai mati. Meski sudah punya pasangan yang mencintai atau keluarga yang bahagia; dia tetap tak akan melupakan. Begitulah ajaibnya hati!

Laki-Laki Butuh Kekuatan Hati Wanita

Pria sebenarnya juga membutuhkan kekuatan hati wanita. Bahkan laki-laki paling brutal dan ganaspun mengakuinya, seperti Hitler ataupun Napoleon. Beberapa ulama terkemuka memilih langkah ekstrim tidak menikah/tetap melajang (‘ulama al-‘uzzab) daripada hancur di tangan wanita berhati lemah.

Nikah bukan bisnis yang mencari keuntungan dari pasangan. Nikah itu perjuangan yang dipertanggungjawabka n dunia akhirat. Hidup terlalu sederhana bila hanya untuk makan, minum, tidur, buang air, nikah, cari uang, punya anak, tua, lantas mati. Banyak hal yang bisa kita lakukan, yang bermanfaat bagi peradaban.

Bila tanpa keterpaduan hati secara utuh, bagaimana mungkin kuat menghadapi masa depan. Bukankah tantangan hari esok jauh lebih berat dari sekarang ini? Makanya sangat penting kekuatan hati dalam rangka menjinakkannya.

Kalau azzam sudah tertanam tak ada yang perlu ditakutkan. Resiko tertinggi dalam hidup hanyalah kematian, lagi pula setiap yang bernyawa pasti akan mati. Kendati setiap manusia matinya berbeda-beda, tapi bisa wafat dalam nafas yang sama. Lebih baik mati saat membela pasangan berhati mulia, daripada mati di istana tanpa berjuang apa-apa.

Sebab nikah sama artinya memilih jalan panjang bertabur onak duri. Ketika dua kutub sudah menyatu; banyak perbedaan karakter, selera, cara pandang, sikap hidup sampai dengan hal yang remeh temeh. Semua perbedaan akan menjadi bom waktu jika tidak punya pondasi yang kokoh. Oleh karenanya kekompakan hati mutlak dibutuhkan, jika tidak niscaya neraka dunia akan tercipta.

Cinta tidak akan runtuh begitu saja pada malam pertama. Cinta itu akan datang setelah melalui proses dan penghayatan. Modal utamanya; rasa percaya dan keyakinan. Tapi jika hati saja tidak menyatu atau tidak utuh, apa modal suami istri selainnya? Ketahuilah bahwa hati yang utuh akan melahirkan kekuatan dahsyat. Karena kekuatan hati, seseorang berjuang menjadi sesuatu yang berharga di hati orang yang dipujanya. Dia ingin mendapatkan kebanggaan di hadapan Allah karena membela pasangan cinta sejati. Sehingga ia tak pernah berharap dengan puji sanjung atau tak peduli caci maki manusia.

Dengan hati yang menyatu, langkah hidup menjadi lebih bermakna, sebab hati akan letih dengan main-main. Suami istri bisa saling mempersembahkan yang terbaik, di atas segala kelemahan dan kekurangan diri. Mereka ingin merasakan ketenangan bersama tambatan hati pautan cinta. Sesuatu yang abadi, bukan basa-basi apalagi polesan luar belaka.

Wajarlah bila saling meminta itu satu hal yang utama sebagai pondasi cinta. Lagi pula, yang dipinta itu hal yang sederhana, bukankah semua orang punya hati? Salahkah mendambakannya dari pasangan sendiri? Bukankah itu kunci aman mencegah perselingkuhan, meski cuma perselingkuhan imajinasi dalam hati?

Banyak suami istri yang hanya menjadi pasangan mesra saat pesta. Keharmonisan yang artifisial mereka sajikan di depan umum. Suami yang begitu perhatian dan melindungi, juga istri yang sangat kasih dan penyayang. Kedekatan yang serba pura-pura sangat dipaksakan saat acara show time, apalagi di depan kamera.

Kehangatan itu lenyap tanpa bekas saat pulang ke rumah, yang meletus berikutnya adalah api egoisme pribadi. Sebab mereka lupa bahwa pernikahan yang langgeng bukanlah kemana-mana selalu berdua. Kebersamaan fisik belum jaminan menyatunya hati. Terbukti lagi bahwa niat merupakan hal sangat penting sebagai landasan berumah tangga. Apapun yang terjadi kita bisa kembali mempertanyakan niat semula.

Tidak pernah ada kata terlambat agar kembali menata hati. Ibarat lingkaran, kita bisa kembali membuatnya bulat sempurna tanpa sumbing. Seiring usaha gigih memberi pengertian pada diri, dialah belahan jiwa yang harus diterima sepenuh hati. Bukan separuh nafas tetapi segenap jiwa raga.

Dengan mengurangi keinginan terhadap pasangan, insya Allah kita akan bisa menerimanya secara utuh di hati. Saatnya bersama mengokohkan kembali pondasi utama rumah tangga, yaitu keterpautan hati yang utuh.

Semoga bermanfaat dan Dapat Diambil Hikmah-Nya ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar