(MENGENANG SI JENIUS SANG ORATOR DAN DIPLOMAT ULUNG YANG RENDAH HATI)
 KH Agus Salim, kesederhanaan penguasa banyak bahasa
 Reporter : Harwanto Bimo Pratomo
 
 
 Haji Agus Salim adalah salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia yang 
tidak berjuang menggunakan bambu runcing atau senjata api. Senjata 
seorang Agus Salim ialah intelektualitas dan kepandaiannya dalam 
berdiplomasi.
 
 Pendidikan Agus Salim dimulai dari Europeesche 
Lagere School (ELS) atau sekolah khusus anak-anak Eropa, kemudian 
dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ketika lulus, dia 
berhasil menjadi lulusan terbaik di HBS se-Hindia Belanda.
 
 
Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris 
pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Di usia yang sangat muda 
ini, Agus Salim sudah berhasil menguasai sedikitnya tujuh bahasa asing 
yakni Arab, Belanda, Inggris, Turki, Perancis, Jepang dan Jerman.
 
 Kecerdasan dan kepiawaian Agus Salim dalam berdiplomat ternyata menarik
 minat negara dan penjajah saat itu yakni Belanda. Belanda menawarkan 
kepadanya untuk menjadi penerjemah pada Konsulat Belanda di Jeddah pada 
tahun 1906 sampai 1911.
 
 Pada saat di Mekkah itulah Salim 
mendalami ilmu agama dengan pamannya Syeikh Khatib al-Minangkabawi yang 
saat itu menjadi Imam di Masjidil Haram. Di samping ilmu-ilmu agama, 
Syeikh Khatib juga mengajarkan Salim ilmu diplomasi dalam hubungan 
internasional yang di kemudian hari nanti menjadi andalannya 
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
 
 Pasca-lima tahun dalam 
perantauan, Agus Salim kembali ke Tanah Air. Pada 1915, Salim meniti 
karir dengan malang melintang di dunia jurnalistik. Kepribadian Agus 
Salim yang tegas membuat setiap tulisannya selalu tajam dan mengandung 
kritikan pedas dalam membakar semangat kemerdekaan rakyat Indonesia.
 
 Dunia jurnalistik ternyata bukan pelabuhan akhir karir Agus Salim di 
mana dia juga memutuskan untuk terjun ke dunia politik sebagai pemimpin 
Sarekat Islam. Ternyata pilihan putra dari pasangan Soetan Salim gelar 
Soetan Mohamad Salim dan Siti Zainab ini tidak salah. Terbukti pada 1946
 sampai 1950 dia menjadi bintang dalam percaturan politik Indonesia.
 
 Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Agus Salim diangkat menjadi 
anggota Dewan Pertimbangan Agung. Selain itu Salim juga dipercaya 
sebagai Menteri Muda Luar Negeri dalam Kabinet Syahrir I dan II serta 
menjadi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Hatta.
 
 Kefasihannya 
dalam berdiplomasi membuat dia dipercaya untuk menjalankan berbagai misi
 diplomatik dengan tujuan memperkenalkan negara baru Republik Indonesia 
ke dunia luar, serta bagian dari diplomasi dalam mempertahankan 
kemerdekaan. Salah satu buah dari upaya diplomasi Agus Salim adalah, 
pada 1947, Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan dan perjanjian 
persahabatan dengan Mesir. Mesir tercatat sebagai negara pertama di 
dunia yang mengakui kemerdekaan Indonesia.
 
 Agus Salim yang 
dianugrahi kejeniusan dan hidup sebagai orang besar tidak lantas 
membuatnya tinggi hati. Kesederhanan Agus Salim ini terlihat pada saat 
dirinya menghadiri salah satu konferensi besar di mana saat itu dia 
makan dengan menggunakan tangannya sementara para peserta muktamar 
menggunakan sendok.
 
 Ketika sebagian anggota muktamar mencemooh 
dengan mengatakan "Salim, sekarang tidak saatnya lagi makan dengan 
tangan, tapi dengan sendok," kemudian dia hanya menjawab "tangan yang 
selalu saya gunakan ini selalu saya cuci setiap kali akan makan, dan 
hanya saya yang memakai dan menjilatnya. Sementara sendok-sendok yang 
kalian gunakan sudah berapa mulut yang telah menjilatnya". Sontak 
hadirin pada saat itu malu dan langsung terdiam.
 
 Haji Agus 
Salim ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia pada 
tanggal 27 Desember 1961 melalui Keppres nomor 657 tahun 1961.
 [did]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar